Rumah Yang Terang

Judul resensi      : Rumah Yang Terang
Judul buku          : Senyum Karyamin
Pengarang          : Ahmad Tohari
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit       : 2013
Jumlah halaman : 71
Harga buku         : Rp. 35.000

2014-08-27-15-02-01--137771548.jpeg

Sinopsis

Sudah empat tahun listrik masuk ke kampungnya. Sudah banyak manfaat yang diberikan olehnya. Tapi sinar bulan tak lagi mampu membuat baying-bayangan pepohonan.
Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahnya. Bersama dengan teman-teman sesama tiang yang membawa perubahan pada rumah terdekat. Bedanya yang dibawa kerumahnya hanya celoteh sengit dua tetangga belakang rumahnya.
Sampai sekian lama rumahnya tetap gelap. Ayahnya tidak mau pasang listrik. Tetangga mulai berceloteh tentang ayahnya “Haji Ba kir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tapi  tak mau pasang listrik. Tentu saja dia khawatir akan keluar banyak duit”.”Tenyu saja Haji Bakir tidak mau pasang listrik karena tuyul tak suka cahaya terang”.
Ia yang bekerja sebagai propagandis pemakaian kondom dan spiral bisa saja membayar listrik. Tapi tetap tak ia lakukan demi ayahnya. Ia sering membujuk. Mengapa aku dan ayah ikut tidak ikut beramai ramai bersama orang sekampung membunuh bulan?. Pernah ia katakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka akulah yang menanggung biayanya. Tasbih di tangan ayahnya berhenti berdecik. Ayahnya tersinggung. “Jadi kamu seperti semua orang mengatakan aku bakhil,dan pelihara tuyul?”. Ia menyesal.
Ketika ayahnya sakit, beliau tak mau dirawat di rumah sakit. “Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruangan yang diterangi lampu listrik? Bila demikian aku akan usahakan agar mereka menyalakan lilin saja khusus bagi ayah.”
Tanggapan ayahnya adalah rasa tersiggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah memucat. Lagi lagi ia menyesal. “Sudah lah nak, kamu lihat sendiri aku hampir mati. Sepeninggal kun anti kamu bisa memasang listrik di rumah ini.” Ucapan ayahnya tadi adalah kata terakhir yang ditujukan kepadanya .
Seratus hari setelah kematian ayahnya orang-orang bertahlil di rumahnya sudah duduk di bawah lampu neon 20 watt . “Nah lebih enak dengan listrik,ya mas?”. “ayah ku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidup maka beliau khawatir tidak aka nada cahaya bagi nya di alam kubur”. Semua tamu malah menunduk dan ia pun juga menunduk.



Penokohan        :
1.       Ia (Anak dari Haji Bakir) : Pengertian,terlihat dari kutipan “ayah ku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidup maka beliau khawatir tidak aka nada cahaya bagi nya di alam kubur”
2.       Ayah (Haji Bakir)               : Cepat tersinggung. Terlihat dari sinopsis diatas yang menunjukkan 2x aia merasa tersinggung oleh perkataan anaknya

Alur                       : Maju

Keunggulan        : Penulis menyajikan kehidupan pedesaan dan kehidupan orang-orang kecil yang sederhana. Alur cerita yang sederhana memudahkan pembaca untuk mengerti maksud penulis.

Manfaat               : Mendapat makna bahwa kita tidak boleh berfikir negatif terhadap orang lain.

Amanat                                :  Setiap orang memiliki alasan untuk setiap keputusan yang mereka ambil. Sebelum kita mengetahui alasan tersebut maka sebaiknya tidak berfikiran negatif ataupun mencemooh orang lain.


0 komentar:



Posting Komentar